Murid yang Nakal - TONG FANG

Breaking

Tuesday, 25 September 2018

Murid yang Nakal

Poker tongfangEsok harinya, aku pun terbangun dalam keadaan galau. Semalaman aku mencoba tidur, namun di kepalaku, selalu terbayang kejadian kemarin sore di rumah Bu Dinda. Akibatnya, bisa ditebak, aku benar-benar merasa amat letih dan lesu.
Aku pun mencoba menyetel lagu yang kemarin diberikan Martin padaku untuk mempercerah suasana. Aku lalu membuka handphoneku untuk mendengarkan lagu. Tapi aku tidak menemukan satupun file musik baru di handphoneku, malahan, lagu-lagu koleksiku banyak yang terhapus.





Penasaran, aku pun memeriksa isi handphoneku. Sekarang, di bagian video, malah ada sebuah video yang berukuran ekstra besar. Penasaran dengan video di handphoneku, aku pun mulai memutar video itu.
Astaga! Aku benar-benar terkejut setengah mati saat melihat diriku yang sedang memamerkan celana dalam di hadapan Martin terekam di video itu dan bagaimana Martin memainkan jari-jarinya di vaginaku juga terlihat dengan amat jelas dari arah samping. Saat itulah aku baru ingat bahwa saat aku memamerkan selangkanganku, sebuah handycam milik Martin tergeletak di ranjangnya yang ada disamping meja belajarnya. Berarti, Martin  secara diam-diam berhasil merekam adegan mesumku!
Tidak terbayang bagaimana perasaanku saat itu. Rasa letih dan lesu yang menyerangku dari pagi kini ditambah dengan perasaan cemas dan takut kalau video itu disebarluaskan, apalagi wajahku tampak jelas di video itu.
Aku bingung, apa yang harus kulakukan? Bagaimana apabila video itu sudah disebarluaskan? Aku pasti diberhentikan dari universitas. Parahnya lagi, aku pasti akan dianggap sebagai perempuan rendahan oleh masyarakat.
Bagaimana caraku menjelaskan pada keluargaku tentang video itu? Bayangan-bayangan itu terus berkecamuk
didalam pikiranku selama seharian penuh.
Walaupun begitu, sore harinya aku kembali berangkat menuju rumah Bu Dinda untuk mengajari Martin. Saat aku datang, Bu Dinda masih belum pulang karena harus menyelesaikan proyek di studionya. Aku pun segera menemui Martin untuk menyelesaikan masalah ini. Kebetulan, Martin yang membukakan pintu untukku. Seolah ia sudah lama menunggu kedatanganku.
“Halo, Kak Yanti. Bagaimana, video klip lagunya bagus tidak?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Martin, kenapa kamu sejahat itu dengan kakak?! Buat apa kamu merekam video beginian sih?! Belum cukup kamu mempermainkan kakak kemarin?!!” jawabku dengan perasaan kesal bercampur cemas.
“Waah, kenapa Martin dibilang mempermainkan kakak? Bukannya kemarin kakak terlihat nyaman saat aku layani?” Mata Martin tampak semakin merendahkanku.
“Sudahlah! Mana videonya? Cepat berikan ke kakak!!” perintahku.
“Tenang saja kak, videonya Martin simpan dengan baik kok. Jadi kakak tenang saja!” Aku mengepalkan tanganku, menahan berbagai macam emosi yang bergejolak didalam hatiku.
Nyaris aku kembali menangis karena rasa cemas yang semakin kuat mencengkeram diriku, namun aku berusaha mengendalikan diri. Aku sadar aku tidak bisa mengambil jalan kekerasan untuk menghadapi Martin, karena malah akan membuat masalahku tambah runyam.
“Oh iya, Martin juga belum memperlihatkan videonya ke orang lain. Waah, sayang sekali ya kak Padahal videonya bagus kan?” lanjutnya.
Mendengar pernyataan Martin itu, aku merasa melihat cahaya dan harapanku sedikit pulih. Namun masih saja aku merasa tegang dan cemas. Aku pun berusaha membujuk Martin untuk menyerahkan video itu padaku.
“Martin, kakak mohon… berikan video itu ke kakak, ya? Tolong jangan sakiti kakak lagi…” aku memohon meminta belas kasihan pada Martin.
“Hmm… kalau begitu, kakak harus mau menuruti perintahku lagi, aku berjanji akan memberikan videonya ke kakak.”
“Kakak mohon, Martin… Jangan lagi…” air mataku kembali mengucur saat mendengar syarat yang diajukan Martin.
Berarti aku harus kembali merendahkan diriku dihadapannya.
“Kakak mau atau tidak?! Kalau tidak, ya sudah! Kakak bisa melihat videonya di internet besok pagi.”
Ketusnya tanpa menghiraukan perasaanku.
Aku pun tidak punya pilihan lain, selain menuruti kemauan Martin. Tampaknya percuma saja aku berusaha meminta belas kasihan anak ini.
Yang ada di pikirannya saat ini pasti hanyalah keinginan untuk mempermainkan diriku sekali lagi.
Terpaksa aku harus melayani permintaannya lagi agar video itu kudapatkan.
“Baiklah, kakak mengerti… Kakak akan menuruti perintahmu, tapi kamu harus berjanji akan memberikan video itu ke kakak!” jawabku memberi persetujuan.
“Beres, Kak!” Kali ini Martin tampak girang sekali saat mendengar kalimat persetujuanku itu.
“Nah, sekarang apa yang kamu mau?!” Tanyaku tidak sabaran
“Tunggu sebentar dong Kak… Jangan buru-buru! Kalau sekarang pasti cuma karena Mami sebentar lagi pulang.”
“Lalu, kamu maunya kapan?”
“Nah, kebetulan 2 hari lagi Mami akan berangkat ke luar negeri, soalnya Mami akan memperagakan busana pengantin buatannya di pameran.”
“Lalu kenapa?”
“Kebetulan minggu depan ada ulangan yang penting, jadi kakak boleh tinggal di rumah ini sampai mami pulang. Selama itu, aku mau kakak untuk tinggal bersamaku di rumah, sambil mengajariku! Bagaimana? Kita bisa bersenang-senang sampai puas kan, Kak?”
“Memangnya sampai kapan Bu Dinda ada di luar negeri?” tanyaku kembali.
“Yaah, karena Mami juga mau ketemu Papi di German, makanya Mami tinggal di sana selama 2 minggu.”
“Tapi apa Bu Dinda akan mengizinkan kakak untuk tinggal disini?”
“Tenang saja, kak! Biar nanti Martin yang bicara dengan Mami.” Ujarnya meyakinkanku.
Aku menghela nafas sejenak sambil berpikir menimbang-nimbang permintaan Martin. Sebenarnya aku tidak begitu rugi apabila aku menginap di rumah Bu Dinda. Aku bisa menghemat uang kosku selama setengah bulan kalau aku menginap di rumah Bu Dinda.
Lagipula aku akan lebih bisa mengawasi Martin untuk belajar menghadapi ujian semesternya yang semakin mendekat, dengan begitu, aku bisa mendapat kesempatan untuk mengamankan pekerjaanku. Sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah memastikan kalau Martin tidak “mengerjaiku” lebih parah dari kemarin.
“Baiklah, kakak setuju. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu harus belajar yang rajin selama kakak
tinggal di rumahmu.” Anggukku sambil memberinya penawaran.
“Berees, kak! Asal kakak mau menurutiku selama itu, aku pasti belajar!” jawabnya dengan bersemangat.
“Iya, iya…” balasku dengan perasaan agak lega.
Kami lalu segera beranjak ke kamar Martin dan aku pun mulai mengajarinya. Tapi hari ini ada yang berbeda dari Martin. Ia tampak lebih serius dan bersemangat dalam menyimak penjelasanku. Kurasa dia sudah cukup senang saat mendengar aku akan menginap di rumahnya 2 hari lagi. Tak lama kemudian, kudengar suara bu Dinda di lantai bawah.
“Nah, Mami sudah pulang! Kakak tunggu sebentar ya! Aku mau bicara dulu dengan Mami!” Martin segera beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya tanpa menghiraukanku.
Sayup-sayup kudengar suara percakapan Martin dengan Bu Dinda, namun aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan. Sambil menunggu Martin, aku mempersiapkan soal-soal latihan yang akan kuberikan untuknya nanti. Sekitar 5 menit kemudian, Martin kembali ke kamarnya bersama Bu Dinda.
“Halo, Yanti. Martin meminta saya untuk mengizinkanmu tinggal di rumah ini selama saya tidak dirumah.”
“Eh? I… iya, Bu Dinda! Martin memberitahu saya kalau ia ingin mendapat les tambahan dari saya selama Bu Dinda tidak dirumah… Katanya… untuk persiapan ujian semester…” ujarku dengan agak gugup.
“Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Soalnya tante Martin juga akan ikut ke German. Makanya tadi saya sempat mengajak Martin untuk ikut. Tapi karena ada ulangannya yang penting, Saya jadi ragu-ragu.”
“Jadi?” tanyaku “Kalau kamu mau, Saya memperbolehkan kamu tinggal disini selama saya tidak dirumah. Tapi saya juga meminta kamu untuk mengurus Martin selama itu. Sebagai gantinya, saya akan berikan tambahan bonus untukmu di akhir bulan ini. Bagaimana?” Jawab bu Dinda memberikan tawaran.
“Baik, bu Dinda. Saya setuju!” anggukku sambil tersenyum.
Sekarang aku mendapat tambahan keuntungan dengan menerima tawaran Martin. Dengan bonus yang disediakan bu Dinda dan penghematan uang kosku selama setengah bulan, aku bisa menambah uang tabunganku sekaligus membiayai sebagian keperluanku bulan depan.
“Baguslah! Kalau begitu, Yanti, tolong kamu siapkan barang-barangmu yang akan kamu bawa untuk tinggal disini. Lusa nanti saya akan menjemputmu sebelum kamu mengajar Martin.” Ujar bu Dinda.
“Iya, bu Dinda!” aku mengiyakan permintaan bu Dinda.
Setelah menyelesaikan tugasku hari itu, aku segera bergegas pulang untuk mulai mengemas barang-barangku. Untunglah aku tidak memiliki banyak barang selain pakaian dan perlengkapan-perlengkapan kecil milikku.
Aku juga memberitahu pemilik rumah kosku bahwa aku akan pindah selama setengah bulan. Syukurlah mereka mau mengerti dan bersedia menyimpankan kamar bagiku apabila aku kembali. 2 hari kemudian, bu Dinda dan Martin pun datang menjemputku sebelum aku mengajar Martin. Aku lalu diantar ke rumah mereka. Aku diizinkan untuk tidur di kamar tamu di lantai bawah.
Malam harinya, aku diberitahu bu Dinda tugas-tugasku di rumah itu selama bu Dinda di luar negeri. Aku diminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah.
Aku sudah terbiasa memasak dan mencuci sendiri sejak kecil, maka tugas ini tidak lagi sesulit yang
kubayangkan. Lagipula untuk keperluan sehari-hari, bu Dinda sudah menyuruh anak buahnya untuk
mengantar bahan makanan dan supir studio untuk mengantar-jemput kami. Apabila ada hal lainnya yang diperlukan, aku hanya perlu menelepon studio untuk meminta bantuan mereka.
Esok harinya, bu Dinda sudah berangkat saat aku pulang dari kuliah. Sehingga hanya ada aku dan Martin sendiri di rumah.
Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Seusai mandi, aku benar-benar terkejut saat melihat semua pakaian milikku menghilang. Hanya ada satu pelaku yang dapat melakukan hal ini! Aku lalu menutupi tubuhku dengan selembar handuk yang untungnya, tidak sempat diambil oleh “pencuri” itu.
Aku segera naik ke lantai atas untuk mengambil kembali pakaian milikku.
“Martin! Martinnn....!! Buka pintunya!” Seruku sambil menggedor kamar Martin.
Pintu kamar itu sedikit dibuka dan wajah Martin muncul dari sela-sela pintu kamar itu.
“Ya, ada apa kak?!” tanyanya padaku.
Namun matanya segera melirik tubuhku yang hanya berbalutkan sebuah handuk dan ia tersenyum cengengesan melihat keadaanku.
“Wah, waah… Kakak sudah tidak sabaran ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Huuh! Dasar usiil!! Ayo, kembalikan baju kakak!!” gerutuku.
“Lhooo… memangnya baju kakak kuambil? Apa ada buktinya?”
“Kalau bukan kamu siapa lagii? Sudah, ayo cepat kembalikan baju kakak!”
“Kak, kalau menuduh orang tanpa bukti itu tidak baik lho! Hukumannya, aku tidak mau memberitahu dimana kusembunyikan baju kakak, Hehehe…” Martin tersenyum mengejekku dan menutup dan mengunci pintu kamarnya dihadapanku.
“Aah! Hei, Martin! Tunggu duluu…” protesku, tapi Martin sudah keburu menutup pintu kamarnya sambil mengejekku dibalik pintu.
Aku pun terpaksa menggigil kedinginan, suhu di rumah itu dingin sekali karena dipasangi AC, ditambah lagi aku baru saja mandi dan sekarang tubuhku hanya ditutupi oleh selembar handuk saja.
Selama beberapa menit aku terus menggedor pintu kamar Martin dan berusaha membujuknya, namun ia sama sekali tidak menggubrisku.
“Hattcccihhh.II…!!!” Karena tidak biasa, aku pun bersin akibat pilek karena suhu dingin itu.
“Kak! Kakak pilek, ya?” tiba-tiba terdengar suara Martin dari balik pintu.
“I… iya… martin, tolong…. kembalikan pakaian kakak… disini dingin sekali… kakak tidak tahan…”
“Oke deh, tapi kakak harus mau memakai pakaian yang kuberikan ya!”
“Iya… iya… cepat doong…. Kakak kedinginan disini…” pintaku pada Martin kembali keluar dari
kamarnya. Ia melihat sekujur tubuhku yang menggigil kedinginan. Anehnya, raut wajahnya tampak berubah, ia tidak lagi tampak senang ataupun puas mengerjaiku. Kini ia tampak agak gelisah.
“Haa… Tttttccchhiimmm......II!!!” kembali aku bersin dihadapannya.
Kulihat raut wajahnya semakin cemas saja melihat keadaanku.
“Ayo Kak, ikut denganku!” pinta Martin padaku yang segera kuturuti saja.
Martin menuntunku ke ruang disebelah kamarnya. Pintu ruang itu dikunci, namun Martin segera membuka pintu itu dengan sebuah kunci di tangannya. Begitu aku masuk, aku takjub melihat puluhan helai gaun pengantin putih dalam berbagai ukuran dan model yang tergantung rapi di kamar itu.
Berbagai aksesoris pengantin wanita juga tertata rapi bersama gaun-gaun itu. Rupanya kamar itu adalah kamar desain bu Dinda sekaligus tempatnya menyimpan hasil rancangannya yang belum dikirim ke studio.
“Kak, aku minta kakak memakai baju itu.” ujar Martin sambil menunjuk ke arah sehelai gaun pengantin putih yang dipasang di sebuah mannequin.
“Apaa?! Kenapa kakak harus memakai baju seperti itu? Memangnya kakak mau menikah, apa?!” jawabku setengah tak percaya, setengah kebingungan.
“Ya, sudah! Kalau kakak tidak mau, kakak boleh memakai handuk itu saja kok!” balas Martin.
“Iyaa! Dasar!! Kamu mintanya yang aneh-aneh saja!!” ujarku agak kesal.
Terpaksa kuturuti permintaan Martin, daripada pilekku semakin parah.
“Oh iya Kak!”
“Apa lagii?”
“Pakaiannya yang lengkap ya, Kak! Soalnya baju itu sudah 1 set dengan aksesorisnya!” pinta Martin.
“Jangan lupa juga untuk merias diri dengan kosmetik Mami ya Kak! Sudah kusiapkan lhoo…” imbuhnya.
Aku menghela nafas dan menutup pintu kamar itu. Memang kulihat gaun itu dilengkapi dengan mahkota, sarung tangan, bahkan stocking dan sepatu yang semuanya berwarna putih susu. Luar biasa! Sejenak aku kagum dengan kepandaian bu Dinda dalam merancang gaun itu, komposisi yang disusunnya benar-benar serasi.
Aku lalu menuruti perintah Martin untuk memakai semua pakaian itu dengan lengkap. Berat bagiku memang, karena aku belum pernah memakai gaun pengantin sebelumnya. Setelahnya, aku pun merias diriku dengan kosmetik milik bu Dinda.
Kulihat semua kosmetik itu buatan luar negeri. Aku sendiri agak canggung untuk memakai kosmetik-
kosmetik itu, mengingat harganya yang selangit bagi mahasiswi sepertiku.
Tapi setidaknya, aku mendapat sebuah kesempatan untuk mencoba kosmetik-kosmetik itu, maka aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Setelah beberapa lama, aku akhirnya selesai mempengantinkan diriku.
Kubuka pintu kamar itu dan seperti yang sudah kuduga, Martin dari tadi sudah menungguku didepan pintu. Ia tampak amat terpana melihatku yang berbusana pengantin itu. Busana pengantinku berupa sebuah gaun pengantin putih yang indah sekali.
Atasan gaun memiliki sepasang puff bahu yang terikat dengan sepasang sarung tangan satin dengan panjang selengan di kedua tanganku yang kini menutupi jari-jariku yang lentik. Di bagian perut dan dada gaunku bertaburan kristal-kristal imitasi yang samar-samar membentuk sebuah pola hati.
Bagian pinggang gaun itu memiliki hiasan kembang-kembang sutra yang melingkari bagian pinggang gaun itu seperti sebuah ikat pinggang yang seolah menghubungkan atasan gaunku dengan rok gaun polos yang dihiasi manik-manik membentuk hiasan bunga-bunga yang bertebaran disekeliling rok gaunku. Pinggulku dipasangi pita putih besar. Aku juga memakaikan rok petticoat di pinggangku agar rok gaunku tampak mengembang.
Martin sendiri tampak kagum melihat cantiknya wajahku yang sudah kurias sendiri, kelopak mataku kurias dengan eye-shadow berwarna pink dan alsiku yang kurapikan dengan eye-pencil. Sementara lipstick yang berwarna pink lembut kupilih untuk melapisi bibirku yang tampak serasi dengan riasan bedak make-upku.
Riasan mahkota bunga putih tampak serasi dengan rambut hitam-sebahuku yang kubiarkan tergerai bebas. Aku telah memasang stocking sutra berwarna putih yang lembut di kakiku yang dilengkapi dengan sepasang sepatu hak tinggi berwarna putih yang tampak serasi seperti gaun pengantinku.
Tubuhku juga kuberi parfum melati milik bu Dinda sehingga sekujur tubuhku memancarkan aroma melati yang amat wangi.
“Nah, bagaimana?” ujarku pada Martin yang masih melongo melihat penampilanku.
“Hei! Kok malah bengong sih?!” seruku, yang segera menyadarkan Martin dari lamunannya.
“E… eh… ccantik sekali Kak!” jawab Martin tergagap-gagap, aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang kebingungan.
“Kak, ini… buat kakak…” Martin mengulurkan setangkai mawar merah kepadaku, Mawar merah yang indah itu tampak segar berkilauan.
“Waah, terima kasih ya!!” otomatis aku mencium bunga itu untuk menghirup aromanya. Sejenak aroma yang menyengat memasuki hidungku aku pun langsung merasa pandanganku tiba-tiba kabur dan tubuhku terasa lemas. Aku pun ambruk tidak sadarkan diri.
Sayup-sayup kulihat senyuman Martin, aku berusaha untuk tetap sadarkan diri, namun mataku terasa berat sekali dan akhirnya aku menutup kelopak mataku. Entah apa yang terjadi pada tubuhku, namun saat aku sadar, aku melihat diriku sudah terbaring mengangkang di sebuah ranjang canopy dalam keadaan berbusana pengantin lengkap.
Kedua tanganku terikat di belakang punggungku sementara kakiku terikat erat di sisi kanan-kiri tiang
ranjang itu sehingga posisi tubuhku mengangkang lebar. Aku merasa amat geli di daerah kewanitaanku,
seperti ada sebuah daging lunak hangat yang menyapu-nyapu daerah kewanitaanku, terkadang daging itu menusuk-nusuk seolah hendak membuka bibir kewanitaanku melewati celah vaginaku.
Aku juga merasa daerah disekitar vaginaku amat becek akibat gerakan daging itu.
“Aahh… oohhh…” Aku pun mendesah pelan menikmati sensasi di kewanitaanku itu.
Rasanya vaginaku seolah diceboki, namun gerakan daging itu yang seolah berputar-putar mempermainkan vaginaku menimbulkan sensasi nikmat disekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku diairi listrik tegangan rendah saat daging itu membelah bibir kewanitaanku dan menyentuh lubang pipisku.
“Eh! Kakak sudah bangun rupanya!!” tiba-tiba kudengar suara Martin dibalik gaunku.
Aku berusaha mendongak dan kulihat wajah Martin sedang berada tepat didepan selangkanganku yang terbuka lebar. Sadarlah aku kalau “daging” tadi tak lain adalah lidah Martin yang sedang menjilati vaginaku. Aku berusaha berontak, namun untuk menutup kedua pahaku yang sedang terbuka lebar saja amat sulit.
Tubuhku terasa amat lemas tanpa tenaga. Saat aku melihat sekitarku, aku baru sadar kalau aku kini
berada didalam kamar bu Dinda.
“Badan kakak masih belum bisa digerakkan, soalnya pengaruh obat tidur Mami masih tersisa.” Jelas Martin sambil berjalan ke sampingku.
Sekejap aku merasa amat panik dan berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk kabur, tapi sia-sia saja. Tubuhku tidak mau bergerak sedikitpun.
Astaga! Bagaimana aku bisa sebodoh itu mencium aroma bunga yang ditaburi obat bius?! Niatku untuk menjaga jarak dari Martin kini sia-sia saja. Sekarang malah kesucianku terpampang jelas dihadapannya, aku dalam keadaan terjepit dan tidak bisa kabur lagi.
“Kakak tenang saja, dijamin enak kok! Hehehe…” tawa Martin terkekeh-kekeh.
“Jangan, Martin… Jangan… kakak mohon!!” pintaku berderai air mata saat melihat martin berbalik berjalan menuju arah selangkanganku. 
Namun sia-sia saja, Martin sama sekali tidak mau mendengar permohonanku. Aku pun semakin panik dan cemas. Air mataku kembali meleleh membasahi mataku, namun apa dayaku? Tubuhku kini amat sulit digerakkan karena ikatan itu ditambah rasa lemas disekujur tubuhku karena pengaruh obat bius yang tersisa.
Kini aku hanya bisa pasrah membiarkan Martin menyantap kewanitaanku. Jantungku berdegup semakin kencang dan wajahku merah merona saat Martin semakin mendekati selangkanganku. Martin lalu memegang kedua pahaku yang mulus. Ia mulai mengendusi paha kananku sementara paha kiriku dibelai-belai dengan tangannya.
“Essh…” aku mendesis sesaat setelah bibir Martin mencium bibir kemaluanku.
Hembusan nafas Martin di pahaku membuat tubuhku sedikit mengigil kegelian. Saat bibir kemaluanku bertemu dengan bibir Martin, Martin mulai menjulurkan lidahnya. Seperti lidah ular yang menari-nari, bibir kemaluanku dijilati olehnya.
Kembali bibir kewanitaanku dibelah oleh lidah Martin, yang kembali menarikan lidahnya menceboki dinding vaginaku perlahan-lahan. Aku berusaha sekuat mungkin untuk menahan gejolak birahi yang kini mulai melanda diriku, namun tetap saja suara desahan-desahanku yang tertahan sesekali terdengar keluar dari bibirku karena rasa nikmat yang menjuluri tubuhku apalagi belaian lembut Martin di pahaku semakin terasa geli akibat stocking sutra yang kupakai.
“Haaa?! Aakh…!!” Sontak aku menjerit terkejut saat merasakan sensasi rasa geli dan nikmat yang tiba-tiba melanda tubuhku.
Rupanya Martin menjilati klitorisku. Sesekali ia menyentil klitorisku dengan lembut sehingga sekujur
tubuhku seperti dialiri listrik dan bulu kudukku berdiri. Martin menyadari bahwa aku mulai dikuasai oleh gejolak birahiku. Ia terus melancarkan serangannya ke klitorisku.
Berulang kali permohonanku yang disertai dengan desahan kusampaikan ke Martin, namun ia malah tampak kian bersemangat mengerjaiku. Kesadaranku pun semakin menghilang tergantikan dengan rasa nikmat dan
hasrat seksual yang semakin merasuki tubuhku.
“Bagaimana kak? Enak tidak?” tanya Martin padaku.
“Martiiinnn… stoop… auhhh… jangaan…”
“Ah masaa? Bukannya kakak mendesah keenakan tuh? Yakin nih, nggak mau lagi?” ejeknya sambil menjauhkan wajahnya dari kemaluanku.
Namun secara refleks, aku malah mengangkat pinggangku kehadapan wajah Martin, seolah menawarkannya untuk kembali mencicipi dinding vaginaku.
“Tuh, kan?! Malu-malu mau, nih cewek!” kembali Martin menghinaku.
Dipeganginya kedua bongkahan pantatku dengan telapak tangannya dan ditegadahkannya tangannya, sehingga kini pinggangku ikut terangkat tepat dihadapan wajah Martin.
“Aww… aww… aaahh…” kembali aku merintih saat Martin mengecup dan mengisap-isap daging klitorisku.
Sesekali aku merasa sentuhan giginya pada klitorisku dan hisapannya membuatku kini hanya berusaha untuk mengejar kenikmatan seksualku semata. SLURP… SLURP… Sesekali terdengar suara Martin yang menyeruput cairan cintaku yang sudah banyak keluar dari vaginaku, seolah hendak melepas dahaganya dengan cairan cintaku.
“AAHH… AAHHH… AAA…” Desahanku semakin keras.
Aku merasa ada sebuah tekanan luar biasa di vaginaku yang sebentar lagi hendak meledak dari dalam tubuhku. Otot-otot tubuhku secara otomatis mulai menegang sendirinya.
“HYAA… AAAKH!!!” jeritku bersamaan dengan meledaknya tekanan dalam tubuhku.
Tanpa bisa kutahan, pinggangku menggelepar liar, bahkan Martin terlontar mundur akibat dorongan tubuhku. Aku bisa merasakan vaginaku memuncratkan cairan cintaku dalam jumlah yang banyak.
Seluruh simpul sarafku terasa tegang dan kaku saat sensasi geli dan nikmat yang luar biasa itu
menjalari tubuhku, dan akhirnya muncul perasaan lega yang nyaman setelahnya.
Aku pun terkapar kelelahan, nafasku tersengal-sengal. Tenaga di tubuhku seolah lenyap seketika. Aku sadar, baru saja aku mengalami orgasme yang luar biasa!
“Wah, waah… Rupanya galak juga nih, kalau orgasme!” ejek Martin yang kini terduduk dihadapan
selagkanganku. 
Ia mendekati vaginaku dan kembali ia menyeruput cairan cintaku yang masih tersaji di vaginaku setelah ledakan orgasmeku barusan. Aku pun hanya mendesah kecil tanpa memberontak. Kepalaku serasa kosong dan aku membiarkan Martin menikmati cairan cintaku sesuka hatinya.
Setelah puas meminum cairan cintaku, Martin berdiri di hadapanku dan melepas pakaiannya sehingga ia telanjang bulat dihadapanku. Bisa kulihat penisnya yang panjangnya sekitar 14 cm sudah menegang keras melihat keadaanku yang mengangkang lebar, memamerkan kewanitaanku didepannya. Martin berjalan melewati tubuhku hingga akhirnya ia tiba didepan kepalaku.
Martin lalu berlutut dihadapan wajahku sambil mengocok penisnya.
“Kak, tadi rasa memek kakak enak sekali loh! Nah sekarang giliran kakak ya, ngerasain punya Martin?” seloroh Martin.
Aku yang menyadari kalau Martin akan mengoral penisnya dengan mulutku, mulai menjerit meminta
pertolongan.
“TOL… uumph!!” jeritanku terhenti karena Martin langsung menyumpalkan penisnya didalam mulutku.
Walaupun ukuran penisnya tidak begitu besar, namun batang penisnya sudah cukup memenuhi rongga mulutku yang mungil.
“Hhmmphh… hmph…” suaraku teredam oleh penis Martin.
Aku berusaha memuntahkan penis itu, namun Martin memajukan pantatnya sehingga penisnya tetap masuk didalam mulutku hingga menyentuh kerongkonganku.
Martin menjambak poni rambutku dan mulai menggerakkan kepalaku maju mundur. Rasa sakit di ubun-ubunku karena poni rambutku dijambak sudah cukup untuk membuatku tidak berontak lebih jauh, aku mengikuti gerakan tangan Martin yang sedang memaksaku mengulum dan mempermainkan penisnya dalam mulutku.
“Aahh… Enaak…” desah Martin saat penisnya keluar masuk dari mulutku.
“Hmmp… mpp… phh…” aku berusaha mengambil nafas untuk menyesuaikan gerakan penis Martin dalam mulutku.
Kocokan mulutku masih belum berhenti, namun aku merasa agak mual karena rasa dalam mulutku saat ini. Sementara leherku juga pegal karena dipaksa Maju-Mundur oleh Martin.
Beberapa saat kemudian, Martin berhenti manjambak poniku, aku pun segera merebahkan kepalaku yang pegal-pegal keatas bantal yang lembut untuk melepas penat. Namun rupanya penderitaanku belum juga berakhir. Martin belum mau melepaskan kenikmatannya dioral olehku.
Belum sempat penisnya keluar dari mulutku, sekarang ia malah menekan selangkangannya ke wajahku dan menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya kembali masuk kedalam rongga mulutku.
Aku bisa merasakan buah zakarnya yang tergantung menampar-nampar daguku berulang kali bersamaan dengan gerakan pantatnya yang maju mundur dihadapan wajahku yang kini tertekan oleh bantal, aku pun berulang kali tersedak karena penis Martin dalam mulutku bergerak dengan amat cepat.
“Oke, kak! Sekarang giliran kakak yang main! Ayo kulum dan mainin pakai lidah kakak!” perintah Martin sambil menghentikan gerakannya.
Aku sendiri sudah mati kutu, kepalaku terjepit diantara selangkangan Martin dan bantalku, sehingga aku tidak bisa bergerak bebas.
“Ayo, Kak! Atau mau kugerakkan sendiri dimulut kakak seperti barusan?” ancamnya padaku.
Aku pun tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Martin, setidaknya aku akan lebih leluasa
bernafas apabila aku yang bergerak sendiri.
Aku pun menggerakkan lidahku membelai-belai batang penisnya yang masuk hingga rongga mulutku. Sesekali lidahku juga bersentuhan dengan kepala penisnya. Sebenarnya aku agak jijik juga karena tercium bau agak pesing dari ujung penis Martin, namun apa dayaku? Lebih baik kuturuti perintah anak ini supaya siksaanku cepat selesai.
Aku pun berusaha untuk tidak begitu mempedulikan bau itu. Penis Martinkuanggap saja seperti permen yang luar biasa tidak enak. Aku pun terus mengemut penis Martin itu.
“Ayo, kak! Terus! Jago juga nih, nyepongnya! Enak bangeet!”
“Mmphh…” erangku.
“Isapin juga kak! Seperti ngisap permen!” kembali Martin memberi perintah padaku, yang langsung saja kuturuti.
Kuhisap penisnya dengan pelan dan lembut dengan harapan anak ini bisa segera menghentikan aksinya dan aku bisa terbebas dari siksaan ini. Herannya, selama beberapa menit kuoral, Martin masih saja tidak puas.
Aku pun mulai kelelahan mempermainkan penisnya dalam mulutku, walaupun aku mulai terbiasa dengan situasiku sekarang. Entah setan apa yang merasukiku, namun saat aku mengingat bahwa aku sedang mengoral penis anak kecil yang tak lain adalah muridku, aku merasa hasrat seksualku kembali meninggi dalam tubuhku.
Aku ingin sekali mencapai orgasme sekali lagi dan aku ingin mencoba sesuatu yang lebih hebat lagi
bersama Martin. Pikiran itupun membuatku memainkan penis Martin sebaik mungkin dalam mulutku agar Martin mencapai kepuasannya.
“Ookh…” Aku mendengar suara erangan panjang keluar dari mulut Martin dan saat itulah, aku merasa mulutku disembur oleh cairan kental berbau amis.
Aku menyadari bahwa Martin baru saja berejakulasi dalam mulutku, dan kini mulutku dipenuhi spermanya.
Martin kembali menekankan selangkangannya ke wajahku.
“Telan kak! Jangan sampai bersisa!” Aku pun menuruti perintah Martin, kutelan semua sperma dalam
mulutku, sekaligus kuhisap-hisap penis Martin agar spermanya tidak bersisa.
Martin hanya mengerang keenakan saat penisnya kubersihkan dengan mulutku.
“Woow… enaak… lebih enak dari onanii….” seloroh Martin.
Namun aku tidak peduli, aku terus menghisap-hisap penisnya itu hingga aku yakin tidak ada lagi sperma yang tersisa. Setelah selesai, Martin mengeluarkan penisnya dari dalam mulutku.
“Waah… Kakak jago banget lho! Enak sekali kak!”
“Martin, kamu jahaat…” protesku.
“Lho kenapa? Bukannya kakak sekarang sudah jadi pengantinku?” balasnya.
“You may kiss your briide!!” sorak Martin tiba-tiba.
Tanpa basa-basi, Martin segera mencium bibirku. Bibirku diemut-emut dengan lembut dan sesekali bibirku juga dijilati oleh lidahnya. Aku hanya membiarkannya mempermainkan bibirku sesuka hatinya.
Pelan-pelan lidah Martin membelah bibirku dan lidahnya menyusup kedalam rongga mulutku. Aku pun merespon dengan menghisap lidah Martin dengan lembut. Sesekali juga kujulurkan lidahku, sehingga giliran Martin yang menghisap air ludahku yang menyelimuti lidahku.
Gairah seksualku sekarang benar-benar menguasai tubuhku, semakin kuingat bahwa Martin yang saat ini sedang bercinta denganku, semakin aku tenggelam dalam hasratku. Selama beberapa menit kami terlibat dalam French kiss itu, sebelum akhirnya Martin menghentikan ciumannya di bibirku. Aku pun tampak kecewa saat Martin menjauhkan wajahnya.
“Kenapa kak? Enak kan rasanya? Masih mau lagi?” tanyanya.
Pertanyaan Martin itu seketika memancing gairah seksualku yang meningkat. Aku merasa ini adalah sebuah kesempatan bagiku, namun sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba Martin mengambil sehelai celana dalam putih berenda yang tadi kupakai dan menjejalkannya ke mulutku hingga celana dalamku memenuhi seluruh rongga mulutku. Belum puas, Martin juga melakban mulutku sehingga celana dalamku itu tersumpal sempurna didalam mulutku.
“Mmfff….” Protesku pada Martin. Namun suaraku terhalang oleh celana dalam yang menyumbat mulutku.
“Jangan dijawab dulu, Kak. Nanti ya, Martin mau istirahat dulu!”
“Oh, Kakak juga boleh istirahat kok! Nah, daripada bosan, bagaimana kalau kakak nonton saja dulu?” lanjut Martin.
Aku bisa mendengar suara televisi yang dinyalakan dan suara pemutar DVD yang dibuka oleh Martin. Setelah selesai, Martin lalu mendatangiku yang masih terbaring mengangkang di ranjang.
“Jangan berontak ya, Kak! Kalau macam-macam, video kakak kusebarkan!” ancamnya.
Martin lalu melepaskan ikatan kakiku di kedua tiang ranjang itu. Aku disandarkan ke kepala ranjang dan Martin menyandarkan sebuah bantal di punggungku dan juga sebuah bantal kecil di pantatku untuk kududuki agar aku merasa nyaman.
Tali yang tadi dipakai untuk mengikat kakiku kini digunakan untuk mengikat sikut tanganku yang masih terikat di punggungku pada kedua tiang bagian atas ranjang canopy itu agar aku tidak kabur.
“Oke deh! Rasanya sudah cukup!! Nah, kakak santai saja ya? Nikmati saja filmnya!” Martin lalu memutar DVD itu.
“Mmff!!” Aku berteriak terkejut saat melihat adegan percintaan seorang wanita berambut pirang di layar televisi itu, rupanya Martin menyetelkan DVD porno untuk kutonton..
“Kakak pelajari gayanya dulu, ya! Supaya nanti siap main dengan Martin! OK?!” Martin tersenyum dan beranjak pergi, meninggalkanku sendiri terikat di ranjang sambil berusaha menahan gejolak birahiku yang semakin mendera karena suguhan adegan panas dihadapanku.
Aku pun terpaksa menonton film porno itu sekitar 1 jam. Yah, aku memang pernah melihat sekilas film porno di handphone teman-teman SMUku, namun mungkin karena ini pengalaman pertamaku melihat film porno selama itu, muncul keinginanku agar vaginaku dimasuki oleh penis seperti wanita bule yang ada di film porno itu.
Pikiranku bergejolak, aku sadar bahwa aku akan kehilangan keperawananku apabila vaginaku dimasuki penis Martin, namun di sisi lain, aku penasaran akan rasa nikmat yang tampaknya melanda wanita di film itu saat vaginanya dimasuki oleh penis.
Aku juga ingin merasakan kenikmatan itu. Apakah aku juga akan merasa senikmat itu apabila vaginaku dimasuki oleh penis? Aku masih bisa mengingat dengan jelas rasa nikmat saat vaginaku dijilati dan dipermainkan oleh Martin sebelumnya.
Tentunya aku akan merasa lebih nikmat lagi apabila vaginaku dipermainkan oleh penis Martin. Lagipula, setidaknya aku tidak perlu khawatir akan hamil sebab masa suburku baru saja terlewati minggu lalu.
Akhirnya rasa penasaran dan gairah seksualku mengalahkan perasaanku. Sudah kuputuskan, aku akan melayani Martin sepenuh hatiku. Aku sudah tidak peduli lagi akan statusku sebagai gurunya ataupun perbedaan usia kami, yang kini kuinginkan hanyalah mengejar kenikmatan seksualku semata. Bahkan status dan perbedaan usia kami malah menjadi sumber gejolak gairah seksualku.
Detik dan menit berlalu, namun bagiku yang kini dikuasai gairah seksualku, serasa menunggu selama berhari-hari. Cairan cintaku sudah semakin banyak keluar dari vaginaku sehingga aku bisa merasakan bantal yang kududuki semakin basah.
Akhirnya, pintu kamar itu terbuka juga dan masuklah Martin kedalam kamar itu.
“Bagaimana kak? Sudah puas nontonnya?”
“Sudah tahu kan bagaimana gaya-gayanya?” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk pelan dengan wajah memelas.
“Bagus, bagus!! Kakak emang pintar!” ujarnya sambil membelai kepalaku dengan pelan, seolah memuji anak kecil.
“Hff…” jawabku.
“Nah, kalau begitu kakak mau tidak kalau aku setubuhi seperti di film?” muncullah pertanyaan yang
sedari tadi kutunggu.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk sambil melihat wajah Martin. Namun Martin malah pura-pura tidak melihat sambil mematikan DVD playernya.
“Apaa? Martin nggak bisa dengar nih!”
“Mmff!!” Aku berusaha untuk meminta Martin melepaskan sumbatan mulutku agar aku bisa berbicara, namun Martin malah melepas ikatan di kedua sikutku sehingga aku terbebas dari ranjang canopy itu. namun tanganku masih terikat kencang di punggungku.
Aku lalu dituntun turun dari ranjang. Martin tidak lagi mengawasiku dengan ketat. Ia tahu bahwa aku
sekarang sudah tidak ingin kabur lagi.
“Waah, udah gede masih ngompol yah, Kak?” ejek Martin saat melihat bekas cairan cintaku di bantal yang tadi kududuki.
Aku hanya menggeleng pelan, namun kurasa Martin juga tahu bahwa itu adalah cairan cintaku yang meluber karena aku terangsang dari tadi. Martin lalu menarikku kehadapan sebuah papan tulis putih di kamar itu yang ditempeli berbagai rancangan bu Dinda.
Martin melepas semua rancangan itu agar papan tulis itu bersih. Martin juga memposisikan tubuhku agar terjepit diantara sebuah meja dihadapanku dan papan tulis itu dibelakangku.
Aku terkejut saat Martin dengan sigap menundukkan tubuhku di meja itu sehingga posisiku kini menungging kearah papan tulis itu. Martin juga menaikkan rok gaun dan petticoatku bagian belakang dan mengaitkannya di pita putih gaunku yang ada di pinggangku, sehingga kini pantatku terpampang jelas menungging didepan papan tulis itu.
“Nah, gimana kalau kakak tulis saja apa yang kakak mau? Soalnya kakak nggak bisa ngomong sekarang”, ujarnya dari belakang.
Aku pun semakin heran, bagaimana caraku menulis dengan tangan terikat dan posisi tubuh menungging seperti ini? Aku hendak berdiri, namun punggungku ditekan ke meja itu oleh Martin.
“Tahan sebentar ya, Kak” ujar Martin sambil membuka celah pantatku.
Martin lalu menuangkan lotion ke jari telunjuknya dan mengusapkan lotion itu ke lubang pantatku. Sesaat aku merasakan jari Martin yang menempel dilubang pantatku bergerak pelan mengoleskan lotion itu dan aku bisa merasakan rasa dingin dan licin akibat lotion itu di pantatku.
Setelah lubang pantatku selesai dilumuri lotion, aku merasa ada sesuatu di lubang pantatku, aku tahu
benda itu bukanlah jari Martin karena benda itu terasa lebih besar dan keras dari jari Martin.
“HMMFF!!” jeritku saat tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di lubang pantatku.
Suatu benda yang panjang dan keras menekan memasuki lubang pantatku. Aku menoleh kebelakang dan melihat Martin memaksakan untuk memasukkan benda itu kedalam anusku. Benda itu diputarnya perlahan masuk kedalam pantatku seperti sekrup.
Air mataku meleleh saat merasakan rasa perih yang amat sangat saat Martin memperawani anusku dengan benda itu. Lubang pantatku serasa tersayat-sayat dan rasa perihnya tak terkira.
“Wuiih… lubang pantatnya seret banget! Padahal sudah dikasih lotion! Pasti masih perawan, nih!”
komentar Martin yang terus memutar benda itu masuk kedalam anusku.
Aku hanya bisa menggeleng-geleng keras memohon agar Martin menghentikan aksinya itu. Namun Martin terus memaksakan benda itu untuk masuk kedalam pantatku.
“Oke! Selesai deh!” seru Martin.
Aku menoleh kebelakang, aku amat panik saat menyadari sebuah spidol berukuran besar kini tertanam didalam pantatku. Spidol itu tampak mengacung tegak kearah papan tulis karena posisi tubuhku yang menungging.
“Oops, tenang saja, Kak! Spidolnya sudah kumasukkan dengan baik, kok! Kakak tahan saja spidolnya dengan otot pantat kakak supaya tidak jatuh!” ujar Martin.
Kata-kata Martin sama sekali tidak menenangkanku apalagi saat merasakan spidol besar yang sedang tertanam dalam pantatku.
“Nah, ayo tulis apa yang kakak mau!”
“MMFF!!” aku menggeleng memprotes Martin.
Ide anak ini benar-benar gila! Aku yakin dia pasti mempelajari cara ini lewat film-film pornonya untuk
mempermalukanku.
“Ayoo, kalau tidak, kakak nanti kubiarkan seperti ini, lho! Spidolnya tidak akan kucabut kalau kakak
tidak mau menurut!” ancamnya.
“Mmm…” aku memelas mendengar ancaman Martin.
Aku tahu kalau dari awal aku tidak memiliki posisi menawar melawan Martin dengan kondisi seperti ini.
“Nah! Ayo, tulis di papan tulis kak! Seperti waktu kita belajar! Sekarang, aku mau kakak mengajariku
menulis!” ujar Martin sambil beranjak duduk dihadapanku, seolah sedang mendengarkan pelajaran di kelas.
Aku berusaha tetap tenang dan mulai menggerakkan pantatku di papan tulis itu.
“Mmf!” aku menjerit kecil dan mataku membelalak saat ujung spidol di pantatku menyentuh permukaan papan tulis.
Pantatku terasa geli dan sedikit perih akibat tekanan spidol itu. Martin tampak senang melihat ekspresi wajahku yang dipenuhi rasa panik, malu dan bingung akan keadaanku sekarang. Perlahan-lahan aku berusaha untuk menulis dengan pantatku di papan tulis itu.
Kaki dan pahaku ikut bergerak menaik-turunkan tubuhku yang menungging. Aku selalu merintih setiap kali satu goresan kutulis di papan tulis itu karena sensasi yang ditimbulkan spidol itu dalam pantatku, yang entah bagaimana semakin membangkitkan gairah seksualku.
“Hati-hati lho, kak. Kalau terlalu ditekan, spidolnya bisa tergelincir masuk kedalam pantat kakak.
Nanti tidak bisa keluar lagi lhoo…” sorak Martin.
Dasar badung! Pikirku. Memangnya salah siapa kalau nanti spidol ini malah terselip masuk kedalam
pantatku?! Malah sekarang aku yang harus berusaha keras menangkal resiko yang diciptakan oleh anak ini untuk tubuhku!
Aku pun mulai kehilangan ketenanganku akibat sorakan Martin itu. Apalagi sesekali aku merasa spidol itu semakin masuk kedalam pantatku saat aku menulis. Namun aku tetap berusaha keras dan hasilnya, 5 huruf yang acak-acakan tertulis di papan tulis itu.
Aku menghela nafas lega saat aku melihat hasil tulisanku itu. Sulit untuk dibaca memang, bahkan aku yakin tulisan anak SD pasti jauh lebih mudah dibaca dari tulisanku; namun aku yakin telah menulis huruf P-E-N-I-S di papan tulis itu.
“Waah, tulisan kakak jelek sekali! Padahal katanya sudah kuliah!” kembali Martin mempermalukan diriku. Ia lalu berjalan kehadapanku, melepas lakban mulutku dan menarik keluar celana dalamku yang sedari tadi telah menjejali mulutku.
“Ahh… ohk… ohkk…” Aku terbatuk-batuk dan menghela nafas lega.
Kulihat Martin sedang mengendusi celana dalamku yang basah karena ludahku dan sesekali ia menghisap-hisap ludahku yang membasahi celana dalamku itu.
“Hmmm… ludahnya kakak memang enaak… Nah sekarang coba kakak baca apa yang kakak tulis!”
“Pe… penis…” ujarku pelan dengan perasaan yang amat malu.
“Apaa? Apa yang kakak mau?” tanyanya dengan nada mengejek, seolah tidak mendengar ucapanku barusan.
“Penis!!” jawabku tidak sabaran.
“Penis siapa, hayooo?”
“Penisnya Martin!!” aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk meneriakkan kata itu dan akhirnya terucap juga.
“Iya deh! Nah, tahan sebentar ya, Kak!” Martin lalu berjalan kebelakang tubuhku yang masih menungging.
Aku bisa merasakan ia memegang spidol yang tertanam dalam pantatku. Perlahan-lahan ditariknya spidol itu keluar dari pantatku.
“Aww… auuch…” rintihku pelan saat merasakan gesekan batang spidol itu di permukaan lubang pantatku yang rasanya sedikit sakit, namun agak geli juga.
Apalagi saat aku mengejan, pantatku terasa semakin nikmat dengan tekanan itu. PLOOP! Terdengarlah suara lepasnya spidol itu dari pantatku.
“AAHH!!” Sontak aku berteriak merasakan kelegaan yang kembali ke lubang pantatku setelah sekian lama disumbat.
Namun, sebelum aku sempat berdiri dan merasakan kelegaan, Martin segera menarik dan menghempaskan tubuhku ke ranjang canopy itu sehingga aku kembali terbaring diatas ranjang.
“Aduh!” Aku segera berusaha bangkit, namun Martin segera menerkam dan menimpa tubuhku.
“Jangan bergerak Kak!” perintahnya.
Entah bagaimana, aku segera menuruti perintah Martin dan mulai merelakan tubuhku dipermainkan olehnya.
“Sekarang kakak kupanggil pakai nama saja ya? Yanti…” pintanya manja.
“I, iya… terserah kamu…” jawabku dengan wajah memerah saat menatap wajah Martin yang ada tepat diatas wajahku.
“Ah!” aku menjerit kecil saat Martin mencengkeram dan meremas-remas dadaku.


Tangan kanannya menekan payudaraku dengan perlahan dan mencubitnya dengan lembut, sementara tangan kirinya menyibakkan rambutku. Martin lalu mendekatkan wajahnya dan mencium pipiku.
“Yanti, kamu wangi deh!” pujinya seraya melayangkan kecupan ke bibirku yang segera kubalas.
Martin lalu duduk bersimpuh diatas ranjang itu dan memangku kepalaku diatas pahanya. Martin kembali menjamah payudaraku, namun kali ini ia mengulurkan tangannya menyusupi bagian dada gaunku.
Jari-jarinya menjalar pelan diatas payudaraku sambil mencari puting payudaraku. Aku merasa agak sesak karena aku masih memakai BH, namun itu tidak menghalangi jari-jari nakal Martin untuk mempermainkan dadaku.
“Aw!” aku merasakan puting payudaraku disentuh oleh jari Martin. Martin segera memencet putingku sehingga aku merasa seperti tersetrum oleh listrik di sekujur dadaku.
“Ahh…” desahku pelan saat Martin kembali meremas payudaraku.
Payudaraku digerakkan berputar pelan oleh jari Martin sambil sesekali memencet putingku. Aku semakin terhanyut saat Martin menyentil-nyentil puting payudaraku dengan kukunya yang agak panjang ataupun saat memencet puting susuku dengan kuku jempol dan jari telunjuknya.
Saraf-saraf tubuhku kini semakin sensitif karena aku semakin terangsang dengan pijatan di payudaraku. Kakiku mulai menggeliat-geliat pelan dan aku bisa merasakan cairan cintaku kembali meluber dari vaginaku. Martin yang melihat pergerakan-pergerakan terangsang tubuhku, mengentikan aksinya.
Kini ia kembali bergerak kearah selangkanganku. Ia lalu duduk dihadapan tubuhku yang masih terbaring
“Nah, Yanti. Ayo buka pahamu. Yang lebar ya!” aku merentangkan kakiku selebar mungkin dihadapan Martin.
Ia tersenyum melihat aku yang tidak menolak perintahnya lagi. Martin lalu mengamati selangkanganku.
Bagaimana kewanitaanku yang masih basah oleh cairan cintaku dan lubang pantatku yang terbuka sedikit setelah diperawani spidol, terhidang di hadapannya.
Martin mencolek vaginaku dan mencicipi cairan cintaku yang ada di jarinya. Martin kembali membenamkan jarinya dengan pelan di celah vaginaku, jarinya bergerak lembut seolah mencari sesuatu.
“Aww…” desahku pelan saat jari telunjuk Martin menyentuh klitorisku.
Martin yang akhirnya menemukan apa yang dicarinya dalam liang vaginaku tampak kegirangan. Jarinya segera menyentil-nyentil klitorisku.
Akibatnya, bisa ditebak, aku kembali melayang kelangit ketujuh. Aku merintih-rintih keenakan dihadapan muridku yang kini sedang memainkan gairah seksualku.
“Aahh… ohh… aww…” desahanku semakin keras dan akhirnya tubuhku kembali serasa akan meledak.
Punggungku melengkung bagai busur dan kakiku kembali menegang, siap untuk menyambut orgasmeku untuk yang kedua kalinya.
Namun, Martin yang tahu bahwa aku akan orgasme segera mencabut jarinya keluar dari dinding vaginaku, otomatis, kenikmatan yang sebentar lagi akan kucapai lenyap seketika.
“Marrttinn… jahaat… ayo lagiii…” pintaku memohon pada Martin.
“Apanya yang lagi, Yanti?” tanyanya seolah tidak mengerti.
“Ayoo… mainin vagina Yanti… Yanti sukaa…” jawabku seperti seorang pelacur rendahan.
“Suka apa?”
“Yanti suka kalau vagina Yanti dimainin Martin… ayo doong… Yanti mau orgasme lagii… enaak…” kembali aku mempermalukan diriku sendiri.
Aku sudah tidak bisa berpikir lagi karena tubuhku sudah sepenuhnya dikuasai dorongan seksualku yang sudah diambang batas.
“Panggil aku “Sayang”! Kan kamu sudah jadi pengantinku!” perintah Martin.
“Iyaa… Martin sayaang… ayoo…” entah bagaimana aku terjebak dalam permainan psikologis Martin. Aku sekarang bertingkah seolah-olah dia adalah suamiku yang sah. Aku agak terkesan karena walaupun masih begitu muda,
Martin sudah tahu bagaimana menjalankan trik psikologis untuk mempengaruhiku agar menuruti
permintaannya, mungkin ini juga pengaruh dari video pornonya. Namun kuakui, permainan psikologis ini semakin membangkitkan gairahku dan aku amat menikmatinya! Sekarang hubungan kami bukan lagi seperti seorang murid dan guru, namun lebih seperti sepasang pengantin baru.
“Nah, Yanti. Boleh tidak kalau Martin memasukkan ‘adik kecil’ ke memek Yanti?”
“Boleh sayang… Yanti kan pengantinnya Martin…” selorohku.
Aku sekarang sudah rela memberikan keperawananku untuk Martin. Lagipula mulut dan pantatku kini sudah tidak perawan lagi, jadi tidak ada salahnya kalau aku sekalian merelakan kesucianku kepada Martin. Aku pun menarik rok gaunku hingga ke perutku sehingga kewanitaanku terpampang jelas sekali dihadapan Martin.
“Ayo sayang. Yanti mau orgasme lagi…” aku memohon pada Martin.
Martin segera merespon dengan duduk dihadapan selangkanganku dan mengatur posisi tubuh kami sehingga penisnya sekarang berada di bibir kewanitaanku. Aku bisa merasakan penisnya yang kembali membesar seperti saat aku mengoralnya barusan menyentuh celah vaginaku.
Aku menghela nafas, menyiapkan diriku untuk menerima kenyataan bahwa keperawananku akan direnggut sesaat lagi. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu untuk mengusir rasa takut dan cemas akibat degup jantungku yang amat kencang.
“Bagaimana, Yanti? Sudah siap?” aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Martin akan kesiapanku.
“Martin… yang pelan ya? Jangan kasar…” pintaku kembali.
Aku tidak ingin Martin memperawaniku seperti sebuah pemerkosaan, yang kuinginkan hanya agar aku bisa diperlakukan lebih lembut. Maklumlah, ini juga merupakan pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur hidupku.
Untunglah, Martin tampaknya mengerti akan perasaanku. Ia mengangguk dan sorot matanya seolah
menenangkanku. Martin mulai mendorong pinggangnya ke depan. Sesaat penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, namun mungkin karena vaginaku licin akibat cairan cintaku, penis Martin malah meleset keluar dari celah vaginaku. Mengakibatkan timbulnya suara tertahan dari mulutku.
Martin kembali berusaha, namun tampaknya agak susah baginya untuk memasukkan penisnya kedalam vaginaku karena diameter penisnya juga cukup lebar (walaupun masih kalah dengan penis yang kulihat di film porno barusan), apalagi aku juga masih perawan sehingga liang vaginaku masih sempit.
Setelah beberapa kali berusaha, Martin tampak kesal karena belum berhasil memperawaniku. Akhirnya ia meraih batang penisnya dan mengarahkannya tepat dihadapan celah bibir kewanitaanku. Tangannya masih kuat mencengkeram penisnya saat ia sekali lagi menggerakkan pantatnya ke depan dan…
“AAGH!!!” aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu dan perih yang amat hebat
melanda vaginaku.
Akhirnya selaput daraku robek dan keperawananku sekarang lenyap sudah terenggut oleh Martin. Aku bisa merasakan penis Martin yang kini terjepit di vaginaku dan ujung penisnya didalam lubang pipisku.
Martin kembali memajukan pinggulnya dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu semakin mendera vaginaku. Bahkan rasanya jauh lebih sakit daripada saat pantatku diperawani oleh spidol barusan.
“Martin, Martin!! Sakit! Sebentar!! Aduuh!!” aku kembali meminta dengan panik pada Martin.
Air mataku meleleh akibat rasa perih itu.
“Sebentar, Yanti. Tenang ya, sebentar lagi…” jawab Martin sambil mendorong pinggangnya dengan pelan.
Penisnya semakin dalam memasuki vaginaku diiringi dengan jeritan piluku yang tersiksa oleh rasa sakit itu. Kepalaku terbanting kekiri-kanan menahan rasa sakit, seolah menolak penetrasi Martin kedalam lubang vaginaku.
“Ohh…” Martin melenguh dan menghentikan dorongannya. Aku bisa merasakan sepasang buah zakarnya bergelantungan di bongkahan pantatku dan paha kami yang sekarang saling bersentuhan.
“Hhh…” aku mengambil nafas sejenak merasakan rasa sesak di vaginaku akibat besarnya penis Martin didalam lubang pipisku.
Aku akhirnya sadar kalau sekarang ini seluruh penis Martin sudah terbenam sepenuhnya didalam
kewanitaanku. Rambut-rambut kemaluannya yang baru tumbuh juga menggelitik selangkanganku. Untuk beberapa saat, kami terdiam dalam posisi itu. Martin memberiku waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaanku.
“Yanti…” panggil Martin pelan.
“Ya?”
“Hangat sekali rasanya didalam. Kamu lembut sekali, Yanti…” pujinya.
Aku tidak bisa merespon jelas karena rasa perih yang menyiksa ini, namun bisa kulihat kalau Martin
tampak mencemaskan keadaanku.
“Sakit ya?” tanyanya penuh perhatian
“I, iya, sakit sekali…” jawabku pelan.
“Sekarang kita sudah bersatu lho, Yanti. Aku dan kamu sekarang jadi satu…” Aku mengangguk membenarkan pernyataan Martin.
Memang, sekarang tubuh kami sudah bersatu karena kemaluan kami masing-masing telah menyatukan tubuh kami.
“Martin… sakiit…” protesku pada Martin.
Martin terdiam, ia hanya mengusap air mataku.
“Sabar ya, Yanti? Sebentar lagi pasti enak kok!” Martin lalu menarik penisnya sedikit vaginaku dan
dengan pelan dilesakkannya kembali kedalam dinding vaginaku.
Rasa pedih kembali menyengat vaginaku, namun Martin selalu berusaha menenangkanku. Aku merasa tampaknya Martin juga tahu bagaimana sakitnya saat seorang gadis diperawani untuk pertama kalinya karena ia selalu berusaha memompa penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa sakitku.
Lama kelamaan, muncul rasa nikmat dari vaginaku akibat gerakan penis Martin. Walaupun masih bercampur dengan rasa perih, aku bisa merasakan bahwa sensasi baru ini berbeda dari saat vaginaku dioral dan dipermainkan oleh jari Martin. Sensasi ini lebih menyentuh sekujur syarafku.
Martin kembali membelai pahaku sambil menjilatinya pelan sehingga gairah seksualku kembali bangkit perlahan.
Rasa perih itu semakin hilang dan digantikan dengan sensasi baru di tubuhku. Rasa geli, sakit dan
sesak yang melanda vaginaku memberikan sensasi tersendiri yang mengasyikkan. Martin yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan pergerakannya mulai leluasa mengatur gerakannya.
Sekarang penisnya ditarik keluar hingga hanya tersisa pangkal penisnya saja dalam vaginaku otomatis bibir vaginaku ikut tertarik keluar. Tiba-tiba, Martin mendorong pantatnya mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali menghunjam dinding vaginaku dengan keras.
“Hyahh…” jeritku kaget, namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti tadi.
Martin mulai menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat, membuatku akhirnya melenguh-lenguh nikmat merasakan sensasi di vaginaku.
“Oohh…ahhh….aahh…aakhh…” aku mendesah-desah keenakan saat penis Martin menghunjam vaginaku.
Sesekali Martin berhenti menggerakkan pinggangnya saat penisnya tertanam penuh dalam vaginaku dan mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga penisnya seolah mengaduk-aduk isi liang vaginaku, membuatku semakin melayang diatas awan kenikmatan seksual.
Semakin lama, kurasakan tempo goyangan penis Martin semakin cepat keluar-masuk vaginaku dan menggesek klitorisku saat memasuki vaginaku. Tubuhku juga berguncang mengikuti irama pompaan penis Martin seiring dengan desahan-desahan erotis dari bibirku.
Malah, saat Martin menghentikan gerakan penisnya, secara otomatis aku menurunkan pinggulku menjemput penisnya, seolah tidak rela melepaskan penisnya itu.
Martin terlihat puas melihatku yang sekarang sudah berhasil ditaklukkan olehnya. Tidak terasa sudah sekitar 10 menit sejak penis Martin memasuki vaginaku pertama kalinya. Martin masih dengan giat terus menggerakkan penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku sendiri sudah kewalahan menerima serangan kenikmatan di vaginaku, orgasmeku sudah siap meledak kapan saja.
“OH! AAKHHH…!!!” akhirnya aku menjerit keras dan tubuhku terbanting-banting saat aku merasakan gelombang kenikmatan yang melanda seluruh simpul syarafku, mengiringi ledakan orgasmeku untuk kedua kalinya.
Tanpa bisa kukontrol, kakiku menendang bahu Martin sehingga Martin terpelanting ke ranjang. PLOP! Otomatis terdengar suara pelepasan penisnya yang tercabut keluar dari vaginaku seiring dengan rebahnya tubuh Martin di ranjang.
Cairan cintaku yang hangat kembali terasa meluap dari celah kewanitaanku. martin bergerak menjauh sedikit membiarkan tubuhku bergerak liar meresapi kenikmatan orgasme yang saat ini kurasakan.
Setelah merasakan ledakan orgasme itu, tubuhku kembali melemas, serasa tenagaku lenyap seluruhnya. 
Nafasku terasa berat dan degup jantungku juga masih saja kencang. Martin membiarkanku beristirahat sesaat untuk mengembalikan staminaku.
“Waah, nggak nyangka nih! Padahal tampangnya alim, tapi rupanya Yanti memang galak kalau orgasme!” Martin menggodaku .
“Gimana? Enak nggak rasanya?” tanyanya padaku.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
“Mau lagi?” kembali martin bertanya menantangku.
“Mau…” jawabku mengiyakan.
“Nah, sekarang ikut aku kak!” Martin menarik tanganku turun dari ranjang dan melepas ikatan kedua
tanganku.
Aku lalu digandengnya kehadapan meja rias bu Dinda. Meja rias itu delengkapi sebuah cermin besar
sehingga aku bisa melihat penampilanku dengan jelas dihadapan cermin itu.
“Yanti, sekarang coba kamu menungging!” aku pun membungkukkan badanku dan menumpukan tubuhku pada kedua lenganku yang menekan meja rias bu Dinda, sehingga aku dalam posisi menungging dihadapan cermin meja rias itu.
“Lebarkan pahamu dan coba lebih menunduk!” kembali Martin memberi perintah yang segera kuturuti, pahaku kulebarkan dan aku semakin menunggingkan tubuhku.
Martin lalu menyingkapkan rok gaunku dan menaikkan petticoatku dari belakang dan menjepitnya dengan pita gaunku, sehingga kembali pantat dan vaginaku terpampang jelas dihadapannya. Martin lalu berdiri dibelakangku, aku bisa melihat tubuhnya yang berdiri dibelakang pantatku lewat cermin itu. Tampaknya martin memang ingin agar aku bisa melihat keadaan sekitarku lewat cermin itu.
“Auuch…” aku merintih pelan saat penis Martin kembali menghunjam vaginaku dari belakang.
Sekarang Martin memegang pinggulku dan menggerakkannya maju mundur sehingga vaginaku dihentak-hentakkan oleh penisnya.
“Aw… aakhh… aawww…” rintihku saat gesekan antara kemaluan kami kembali menimbulkan sensasi kenikmatan yang melanda tubuhku.
Suara beturan tubuh kami juga menggema didalam kamar itu mengikuti desahan-desahan yang keluar dari bibirku.
“Yanti, coba kamu lihat cermin.” Perintah Martin sambil terus memompaku.
Aku menatap cermin dan aku bisa melihat ekspresi wajah cantikku yang tampak dilanda kenikmatan di tubuhku. Aku bisa melihat mataku yang sayu dan bibirku yang megap-megap berusaha mencari nafas dan melontarkan desahan-desahanku.
“Apa yang kamu lihat di cermin itu?” tanyanya
“Yanti… aakh… Yanti jadi… pengantin… Martin… auuhh…” jawabku terbata-bata.
“Oh ya? Apa yang sedang dilakukan Yanti, pengantin Martin itu?”
“Oohh… Yanti… Yanti sedang disetubuhi… aww… Martin… ahh…”
“Bagaimana menurutmu, penampilanmu sekarang?”
“Yanti… Yanti jadi… aww… cantik sekali… yanti… suka… gaun Yanti… juga… ahh… Yannn…”
“Yanti senang tidak jadi pengantin?” ujar Martin.
Aku hanya menganggukkan kepalaku merespon pertanyaan Martin karena mulutku sekarang sedang sibuk mendesah penuh kenikmatan.
Memang dengan penampilanku sebagai pengantin saat ini, aku tampak cantik sekali. Saat aku melihat wajah cantikku itu tampak dikuasai oleh gairah seksualku, entah kenapa aku semakin terangsang. Apalagi saat aku melihat diriku yang sedang disetubuhi dari belakang oleh Martin, dalam balutan busana pengantinku yang indah, gairah seksualku semakin meningkat drastis.
“Oouch… ahhh…aww…” aku berusaha menggapai orgasmeku, namun Martin malah berusaha bertahan agar aku tidak mencapai orgasmeku dengan cepat.
Sesekali gerakannya dipercepat, namun saat merasakan aku akan mencapai orgasmeku, ia segera
menghentikan serangan penisnya di vaginaku. Akibatnya siksaan orgasmeku semakin mendera tubuhku.
“Martin… kamu jahaat… auuch… Yanti mau orgasmee…hyaah…” aku memprotes perlakuan Martin padaku.
“Iyaa… soalnya Yanti kan sudah orgasme dua kali! Martin juga mau! ” balasnya.
Memang benar, dari tadi Martin terus memberi pelayanan yang membuatku mencapai orgasme dua kali, namun dia sendiri hanya sekali berejakulasi dalam mulutku. Tiba-tiba, Martin menghentikan gerakannya, sehingga aku mendesah tertahan sejenak. Aku cemas karena tampaknya Martin tidak berminat lagi meneruskan pompaannya.
“Sekarang, giliran Yanti yang gerak, ya?” pinta Martin yang segera kurespon dengan senang hati.
Goyangan maju-mundur pantatku pun menjemput dan mempermainkan penisnya dalam vaginaku. Aku merasa lega karena setidaknya vaginaku masih bisa merasakan kenikmatan dari persetubuhanku dengan Martin. 
“Yanti, ayo lihat cerminnya lebih dekat!” kembali aku menuruti perintah Martin.
Wajahku kudekatkan pada cermin itu sehingga cermin itu mengembun akibat hembusan nafasku. Aku bisa melihat pantatku yang kini bergerak maju-mundur dan ekspresi nikmat di wajah Martin.
“ Yanti suka lihat cerminnya?”
“Iyaa… wajah Yanti cantiik… eeghh… dan nakaal…”
“Jadi, Yanti cewek yang nakal yaa?” tanyanya sedikit menggodaku sambil menghentakkan penisnya secara tiba-tiba di vaginaku.
“Aww… iyaa… Yanti memang nakaal…” celotehku tanpa pikir panjang.
“Bagaimana, rasanya enak tidak dientot, Yanti?”
“Mmm… aah…enaak… nikmaaat… Yanti sukaa…”
“Kalau begitu, boleh kan kalau Martin mengentoti Yanti lagi?” selorohnya.
“Boleeh… Yanti… auuh… boleh dientot Martin… kapaan saja… Yanti kan… sudah jadi… pengantin Martin… oh…”
jawabku yang sekarang sudah sepenuhnya takluk oleh Martin.
“Kalau begitu, Yanti tidak boleh selingkuh dengan orang lain ya?”
“Iyaa… ooh… Martin sayaang… Yanti cuma mau dientot Martin sajaa… nggak mau sama cowok laiin…” secara otomatis aku menyatakan kesetiaanku pada Martin.
Martin terus mempermainkan mentalku sambil mempermalukanku. Anehnya, dipermalukan sedemikian rupa, malah semakin merangsangku dan aku semakin mempercepat gerakan pantatku walaupun sendi-sendi paha dan pinggangku terasa ngilu akibat kelelahan. Akhirnya Martin mencengkeram pinggulku dan menghentikan pergerakanku.
“Martin… kenapaa?” tanyaku penuh kekecewaan.
“Sekarang giliranku ya, Yanti?” aku hanya mengangguk pelan mengiyakan permintaan Martin.
Ada untungnya juga bagiku karena tubuhku sudah amat lelah dan aku juga merasa aku tidak bisa
melanjutkan gerakanku lebih lama lagi. Martin kembali menggerakkan pinggulku maju-mundur dengan cepat sehingga aku semakin kewalahan.
Dengan nakalnya, Martin melesakkan jari telunjuknya kedalam lubang pantatku. Tidak seperti tadi, anusku yang sekarang sudah amat becek akibat lelehan cairan cintaku yang sekarang juga meluber ke anusku.

Lubang pantatku dengan mudahnya menelan jari telunjuk Martin sehingga kembali rasa perih yang sedikit nikmat melanda anusku. Jari telunjuk itu lalu digerakkan seirama dengan gerakan penisnya di vaginaku sehingga aku semakin tenggelam dalam kenikmatanku.
Desahan-desahanku semakin keras karena sensasi di selangkanganku saat ini dimana penis Martin masih terbenam dalam vaginaku, sementara jari telunjuknya berputar-putar menjelajahi isi pantatku apalagi saat jarinya mempermainkan saraf di sekitar lubang pantatku. Saat aku mengejan, Martin malah semakin memasukkan jarinya lebih dalam kedalam pantatku sehingga sensasi rasa geli dan sakit di anusku kian menjadi.
Aku semakin kewalahan dengan rasa nikmat yang datang menguasai tubuhku apalagi aku bisa merasakan otot-otot tubuhku yang menegang lebih keras dari sebelumnya, aku mengepalkan tanganku dengan keras menahan desakan dari dalam tubuhku. Namun sekuat-kuatnya aku berusaha menahan diri, akhirnya pertahananku runtuh juga.
“Ahhk… aah… AKHHH!!!” dengan diiringi teriakanku, orgasmeku kembali meledak.
Aku merasakan vaginaku berdenyut keras seolah menyempit dan penis Martin semakin terjepit erat di dinding kewanitaanku. Tubuhku langsung dialiri oleh ledakan rasa nikmat dan kelegaan yang luar biasa.
“OOKH… Yanti…” Merasakan sensasi jepitan vaginaku saat orgasme, Martin akhirnya tidak bisa menahan dirinya.
Sekali lagi dihentakkannya penisnya sekeras mungkin kedalam vaginaku dan saat itu pula aku merasakan cairan hangat menyembur dari penis Martin memenuhi rahimku.
Martin pun mencabut jarinya dari lubang pantatku sebelum menarik penisnya keluar dari vaginaku setelah spermanya telah tertuang sepenuhnya kedalam rahimku. Aku tidak tahan lagi melawan rasa lelah tubuhku.
Setelah mencapai orgasmeku itu tubuhku serasa kehilangan seluruh tenagaku. Aku pun jatuh lunglai tanpa tenaga di lantai kamar bu Dinda. Martin menghampiriku yang masih tergeletak lelah dan mencium bibirku sekali lagi dengan lembut sambil melumat bibirku. Aku menggerakkan bibirku membalas kecupan Martin dengan pelan sebelum rasa lelah mengalahkanku sehingga aku pun tertidur kelelahan.
Aku terbangun saat kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Saat aku membuka mataku, aku melihat Martin sedang duduk disampingku yang kini terbaring di ranjang bu Dinda. Aku masih berbusana pengantin lengkap seperti sebelumnya.
Melihatku yang terbangun, Martin segera membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku merasa terkesan dengan perhatiannya, belaiannya terasa lembut melindungiku seolah menjawab perasaanku sebagai seorang wanita yang ingin dilindungi dan diperhatikan oleh seorang kekasih.
Akhirnya kusadari kalau aku telah jatuh cinta pada Martin. Walaupun bisa disebut sebagai cinta terlarang antara guru dan murid, namun bagiku hal itu sekarang bukan lagi hambatan bagiku. Aku hanya ingin agar bisa bersama dengan Martin selama mungkin.
Lagipula, dialah yang telah membuatku menjadi pengantinnya dan merenggut keperawananku yang tadinya kujaga dengan baik demi calon suamiku dimasa depan. Jadi, wajar saja kalau dia berhak menerima cintaku.
“Yanti, kamu akhirnya bangun juga…” panggil Martin pelan.
“Ya, sayang…” jawabku manja sambil melihat wajahnya.
“Kamu suka tidak sama Martin?” tanyanya dengan mimik cemas.
“Yanti cinta Martin kok! Yanti mau jadi pengantin Martin selamanya!” jawabku mantap.
“Benar?” tanyanya dengan ragu.
“Iyaa… kan Yanti sudah jadi pengantin Martin? Niih lihaat!” jawabku nakal sambil memamerkan gaun
pengantinku.
Kunjungi juga : http://jkt48poker.com
Martin tersenyum melihat tingkahku itu dan ia segera mencium bibirku. Sekali lagi kami berciuman diatas ranjang itu dan kali ini, tidak ada paksaan atas diriku untuk memadu kasih dengan Martin. Perasaanku terhadap Martin telah berubah seluruhnya menjadi perasaan cinta sepenuh hatiku.
Sekarang aku adalah seorang pengantin wanita bagi seorang lelaki yang telah berhasil menaklukkan
hatiku dengan kehebatannya bercinta denganku. Martin juga tampak bahagia karena berhasil menjadikanku sebagai kekasih hidupnya. Ya, sekarang aku telah menjadi pengantin muridku, Martin!

No comments:

Post a Comment